Saat dunia terus berputar, perubahan itu adalah suatu kepastian. Digitalisasi hingga artificial intelligence telah membuka banyak peluang dan perubahan semakin pesat dan tidak terhindarkan. Di satu sisi kita harus punya prinsip-prinsip yang konsisten terjaga, di sisi lain adaptasi dan fleksibilitas menjadi sangat penting menghadapi perubahan yang terus terjadi. Maka, kapan kita harus konsisten dan kapan harus fleksibel.
Konsistensi dan fleksibilitas mungkin terlihat seperti berlawanan, namun keduanya bukan hal yang perlu dibenturkan. Keduanya harus dimainkan dengan tepat sesuai konteks. Kita perlu melihat kembali konsistensi dalam berbagai konteks, seperti kepemimpinan, bisnis, hingga pergaulan, dan bagaimana menghadapi arus perubahan yang tak henti-hentinya mengalir.
Sebagaimana dilansir Forbes.com, ada tiga konteks di mana kita bisa mendefinisikan ulang konsistensi di tengah perubahan yang begitu cepat.
Pertama dalam konteks leadership alias kepemimpinan. Konsistensi dalam hal kepemimpinan adalah konsisten menjaga nilai, sementara mereka cenderung adaptif terhadap sudut pandang baru. Para pemimpin dunia telah membuktikan bahwa selalu beradaptasi dengan keadaan dan bersedia berubah pikiran serta mengubah pandangan. Nelson Mandela adalah contoh nyata. Bertahun-tahun, ia memperjuangkan kesetaraan dan keadilan untuk semua warga Afrika Selatan. Akan tetapi, Mandela juga menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa dengan bersedia mendengarkan dan mempertimbangkan perspektif yang berbeda, termasuk dari mantan lawan politiknya. Dalam proses negosiasi menuju akhir apartheid, ia membuka diri terhadap dialog dan kompromi, yang pada akhirnya membantu membangun fondasi bagi perdamaian dan rekonsiliasi di negara tersebut.
Kedua, dalam konteks bisnis atau branding. Setiap brand punya konsistensi di dalam ide, tentang mengapa mereka ada. Namun, dunia gaya hidup yang menjadi panggung mereka berubah dengan sangat cepat. Di sinilah brand-brand terbaik selalu menemukan cara untuk selalu relevan dengan kehidupan targetnya. Brand-brand besar seperti Dove dan Nike memiliki karakter yang kuat, konsisten dengan ide, namun mereka tumbuh dan berkembang sesuai zaman. Lihat saja bagaimana "Just Do It" yang lahir di 1988 berevolusi menjadi "Believe in something. Even if it means sacrificing everything." di ultahnya yang ke-30.
Ketiga, dalam konteks pergaulan masyarakat. Kadangkala masyarakat terjebak pada ideologi dan tidak adaptif melihat perubahan yang terjadi begitu cepat. Konsistensi yang harus dibangun adalah pada niat untuk membangun masyarakat yang ideal, yang setara, yang inklusif. Sementara fleksibilitas perlu dibangun dengan melihat perkembangan pada keberagaman masyarakat, yang tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Janganlah terjebak pada kultus yang akan membawa pada polarisasi sebagaimana pemilu di banyak negara beberapa waktu terakhir ini.
Demikianlah tiga hal yang mengilustrasikan bagaimana konsistensi harus dilihat kembali dan bagaimana kita harus bersikap untuk menghadapi perubahan begitu cepat. Satu hal yang bisa menjadi benang merah, saat kamu memiliki visi yang jelas maka kamu akan bisa dengan mudah menghadapi perubahan begitu cepat karena kamu akan fokus pada tujuan besar seperti yang sudah dilakukan para pemimpin dunia, brand-brand besar, dan kelompok masyarakat.
Ikuti terus media sosial resmi kami melalui: Instagram (@djarumbeasiswaplus), Facebook Page (Djarum Beasiswa Plus), Twitter (@BeswanDjarum), LinkedIn (Djarum Beasiswa Plus), dan YouTube (Djarum Beasiswa Plus).